Aku
dan Gadis Manis Berkursi Roda
Aku
adalah sebuah buku usang. Tempat mangkalku adalah sepetak ruang dalam rak kayu
perpustakaan tua. Aku menempatinya selama hampir seumur hidupku. Seorang pustakawan
muda jadi kawan karibku sejak beberapa tahun silam. Aku termasuk buku yang tak
boleh dibawa pulang oleh pengunjung perpustakaan. Itu dikarenakan usiaku yang
tak lagi muda, selain keberadaanku yang hanya satu-satunya.
Lima tahun yang lalu, seorang gadis
manis berkursi roda mengunjungi rumahku. Ia bergerak ke sana kemari seorang
diri. Pernah sekali kucuri dengar, sopir setianya menanti di luar sana. Sang gadis
manis menghampiriku dengan senyum termanisnya. Senyum tertulus yang pernah
kujumpa dari seorang manusia. Sejak detik itu gadis manis itu resmi menjadi
pengunjung setiaku sekaligus sahabat baruku. Ia tak pernah absen memelukku lalu
membuka lembar demi lembar halamanku. Ia tak pernah mengeluhkan kertasku yang
mulai menguning dan huruf-huruf di atasnya yang tercipta dari dentingan mesin
ketik kuno.
Hari ini, sang gadis manis tak
menjengukku. Hari demi hari berlalu. Ia tak pernah lagi menampakkan senyum
tulusnya. Ke manakah gerangan ia? Apakah ia jatuh sakit? Apakah kelumpuhannya
ada hubungannya dengan ketidakmunculannya? Apakah ia tak lagi tinggal di kota
ini? Ataukah ia telah jemu bertandang ke gubuk tuaku ini? Ah, aku merindukan
sahabatku itu.
Hingga tiga bulan berselang, sesosok
gadis manis berpakaian panjang dan berkerudung lebar menjejakkan kakinya ke
perpustakaan kami. Sang pustakawan menyapanya ramah. Mereka terlihat berbincang
hangat. Apa kiranya yang tengah mereka
perbincangkan? tanyaku ingin tahu. Selang sepuluh menit kemudian, sang
gadis menghampiriku. Apa yang akan
dilakukannya terhadapku? Oh, ia menjamahku lantas membawaku ke sebuah meja.
“Lihat, kawan! Aku membawakan suvenir
cantik untukmu,” seru riang sang gadis padaku.
“Apa itu?” tanyaku penuh ingin tahu.
“Mereka
adalah foto-foto cantik yang kuambil sebagai kenang-kenangan perjalanan ke
negeri asalmu,” kata sang gadis seraya menyuguhkan sekliping koleksi foto
menarik.
“Wow, benarkah yang kulihat ini? Itu
adalah tempat-tempat istimewa yang kuceritakan dalam lembaran-lembaran kisahku.
Tapi tunggu, siapa gadis ini? Mengapa ia terasa tak asing bagiku?”
“Aku berterima kasih padamu, kawan. Berkatmu,
aku mengenal negeri asing di belahan benua lain. Dan berkatmu, aku bernyali
mengembara, mengejawantahkan makna petualangan hidup selama tiga bulan terakhir
ini. Kini aku telah terbebas dari belenggu kursi roda yang menghipnotisku. Aku telah
terbebas dari jerat masokisme yang membutakan mata hatiku. Aku kini menjadi
manusia bebas yang tak takut lagi melangkah dan terjatuh.”
Aku terhenyak. Apakah gadis ini adalah gadis manis berkursi roda yang selama ini
kurindukan kehadirannya? Ah, iya. Dialah gadis itu. Aku nyaris tak
mengenalinya dalam balutan pakaian panjangnya.
“Dan ada beberapa kejutan lagi
untukmu, kawan. Aku bingkiskan kawan-kawan baru untukmu. Mereka akan menemanimu
di sisa usiamu,” ujar sang gadis seraya mengeluarkan setumpuk buku berbahasa
Inggris dari dalam tasnya. Buku-buku itu menyapaku dengan senyum merekah.
“Hai, kami datang dari negeri asal
kita. Kami akan bersahabat denganmu hingga kau tak lagi kesepian di perpustakaan
tua ini.”
0 komentar:
Posting Komentar