Cinta
Sejati Tak Kenal Ukuran
Suara tangisan bayi dan jerit
melengking balita memenuhi ruangan. Ibu si bayi berteriak memanggil seorang
lelaki muda berperawakan tambun yang secepat kilat berlari tergopoh-gopoh ke
arahnya. Dua balita berlarian ke segenap penjuru ruangan sambil tertawa
histeris. Mereka tak peduli meski air dari pistol mainan mereka berceceran. Sejurus
kemudian terdengar bunyi berdebum. Galon air roboh dan air tumpah menggenangi
lantai dengan cepat.
“Fauzan, Fauzi!” teriak seorang
wanita muda bertubuh subur.
Kedua balita yang awalnya terpaku
serentak berlari menghindari cubitan maut si tante gemuk. Tubuh kecil mereka
menyelinap di antara perut-perut buncit berkemeja.
“Tante,
masakannya memang tiada dua. Ary sampai kalap,” seorang lelaki mengusap peluh.
Wajahnya yang putih bersemu kemerahan. Agaknya ia merasa menjadi ayam kampung
teroven dalam ruangan berjejal manusia itu.
“Pulang dulu ya, Tante. Terima kasih
jamuannya,” menyusul tamu berikutnya berpamitan sambil mengembangkan senyum
termanisnya.
“Aduh
capek sekali, Ma. Shifa nggak sanggup lagi,” keluh sang anak gadis sambil
mendaratkan tubuh suburnya ke sofa empuk di sudut ruangan.
“Ya sudahlah, kita istirahat
sekarang. Besok, jangan lupa lanjutkan tugas kalian!” sahut sang mama pada
akhirnya. Arisan keluarga yang menguras keringat.
“Sayang nih makanan sisa arisan
kemarin. Salman sikat habis ya, Ma!” seru Salman bersemangat. Ia sudah
berancang-ancang menyendok sepotong ayam ketika sang kakak menyerobot.
“Eit, ini bagian gue ya,” tukas Syla sambil nyengir kuda.
“Asem, main serobot aja lu, Kak!” seru Salman protes.
Dalam sekejap, setengah isi meja
makan ludes oleh duo kakak beradik tersebut. Ayam panggang, rendang, telur
balado, nasi setengah bakul, hingga roti kukus telah masuk ke dalam perut karet
mereka.
“Siapa yang barusan menelpon, Ma?”
Shifa bertanya pada sang mama yang tampak gusar seusai menutup percakapan di
telpon.
“Om Hary dirawat di rumah sakit. Dia
dinyatakan positif mengidap diabetes.”
“Benarkah? Kapan Mama mau membesuk?”
“Besok lusa saja. Kamu boleh ikut
kalau mau.”
“Kak, keluarga kita kok penyakitan
ya?” celetuk Salman sepulang membesuk om Hary di rumah sakit.
“Hush, ngawur aja lu!” seru Shifa sambil mendelik.
“Gue
kan cuma menyimpulkan. Dalam rentang dua bulan ini, om, tante, kakek, semua drop karena divonis penyakit serius,”
sanggah Salman.
“Iya sih, gue juga mikir ke sana. Tapi omongan lu nggak bisa lebih sopan dikit apa?” sergah Shifa sengit.
“Gue
kira kita ini gemuk dari turunan gen alias takdir gitu. Kalau tumbang satu
persatu begini, gue jadi mikir buat
diet,” cerocos Salman berlagak serius.
“Shifa, Syla, makan siang dulu!”
seru Mama ke arah kamar dua anak gadisnya.
“Menunya apa, Ma?” tanya Syla yang
bersiap mencuci tangannya.
“Dendeng dan semur ayam. Mana
Shifa?”
“Dia bilang masih kenyang, nggak mau
makan.”
Beberapa hari ini Shifa berperilaku
aneh. Dia kerap pulang malam, nyaris tak menyentuh jatah makannya di rumah.
Cemilan di lemari juga tak disentuhnya.
“Shifa sakit, bukan?” tanya Mama
suatu hari.
“Nggak, Ma. Shifa sehat-sehat saja.
Masa’ muka segar berseri-seri begini dituduh sakit,” sanggah Shifa sambil
tersenyum lebar.
“Lalu kenapa nafsu makanmu
berkurang? Tiap hari pulang malam, itu juga ke mana?”
“Oh itu, hehe. Sebenarnya Shifa
sedang mengatur pola makan, Ma.”
“Maksudmu diet begitu? Tumben,”
sahut Mama setengah tak percaya.
“Iya, Ma. Jangan khawatir Ma, Shifa
dietnya sesuai anjuran dokter gizi dan diimbangi dengan olah raga teratur,”
papar Shifa meyakinkan.
Mama hanya geleng-geleng kepala. Tak
disangka anak gadisnya yang selama ini anti diet berubah haluan.
“Apa, Fa? Lu sedang dalam program penurunan berat badan?” Fira tercengang
mendengar pengakuan sahabatnya.
“Itu sebabnya Fir, gue sering absen dari kegiatan
komunitas.”
“Sekarang lu udah turun berapa kilo? Ambil kelas Thai boxing di mana?” Fira mengejar Shifa dengan pertanyaannya.
Obrolan berlanjut dan terus melebar
ke gosip pelatih Thai boxing terkece
versi Shifa. Mereka lupa bahwa hari ini adalah jadwal pertemuan rutin komunitas
orang gemuk se-Jakarta.
“Shifa, besok sepulang kerja gue mau bicara empat mata sama lu,” itu bunyi pesan singkat dari Dipta.
Shifa menerka Dipta hendak
mengonfirmasi sebab ketidak hadirannya beberapa waktu belakangan ini. Dipta ini
seorang pemimpin yang berpembawaan supel dan perhatian pada anggota-anggotanya.
“Kemarin lu mangkir karena apa, Fa?” tanya Dipta membuka pembicaraan.
“Sorry ya Dip, gue ada urusan.”
“Gue perhatikan lu jadi nggak seaktif dulu lagi. Apa ada kesibukan lain yang lebih
penting?”
“Sebenarnya memang gue sedang berkonsentrasi ke urusan
lain. Kebetulan lu nanya hari ini,
sekalian aja gue ijin.”
“Ijin bagaimana maksud lu?”
“Gue
mau mengundurkan diri dari kepengurusan.”
Dipta terlihat kaget. Dia kikuk
mengubah posisi duduknya.
“Kok mundur sih, Fa? Gue nggak mengijinkan. Setidaknya tunggu
sampai akhir masa jabatan.”
“Gue
inginnya sekarang, Dip. Gue nggak
enak sama teman-teman.”
“Kalau memang lu merasa segan, justru harusnya lu nggak seenaknya gitu mundur!” tukas Dipta emosi. Dia berdiri dan
bersiap pergi, ketika Shifa masih menegaskan kata-katanya.
“Gue
itu suka sama lu, Shifa. Masa’ lu nggak ngerti sih?” sekonyong-konyong
Dipta berucap. Matanya kini menatap Shifa tajam sambil menahan kekesalannya.
Shifa ternganga, sejenak membisu.
Kupingnya kah yang sudah salah dengar atau Dipta sedang mengada-ada untuk
mencandainya?
“Gue
serius, jadi tolong dipikirkan lagi,” tandas Dipta lalu melangkah pergi
meninggalkan Shifa yang masih bingung. Bagian mana yang harus dipikirkan;
pengunduran dirinya kah atau pernyataan sukanya barusan?
Bulan demi bulan berganti. Shifa
tetap kokoh pada pendiriannya untuk menon-aktifkan dirinya dari kegiatan
komunitas anak-anak muda bertubuh tambun. Lagipula tidak lucu dong seseorang
yang berniat kuat merampingkan badan masih aktif menjadi pengurus komunitas pro
kegemukan? Dia memutus kontak dengan Dipta dan kroninya untuk sementara waktu.
Tindakan kekanak-kanakan dan egois yang terpaksa ia pilih.
“Kak, hari ini lu pilih diet yang mana?”
“Lu
pikir menu, bisa dipilih-pilih?”
“Lha kan lu sendiri yang mengubah-ubah menu diet. Awalnya diet karbohidrat,
lalu beralih ke diet vegetarian. Belum lama ganti saluran lagi ke diet makanan
mentah. Terakhir katanya menerapkan diet COD.”
Shifa tak bisa menahan tawa
mendengar penuturan Syla. Shifa memang menguji nyalinya sendiri dengan
mengubah-ubah pola dietnya. Ia berprinsip, selama tubuhnya tak protes, kenapa
tidak?
Ponselnya berdering. Sebuah pesan
masuk dari seorang Dipta. Agaknya Dipta belum mau menyerah. Shifa menganggap
Dipta sebagai seorang teman. Ia mengagumi kelebihan-kelebihan Dipta, kecuali
berat badannya. Ia sudah menolak perasaan Dipta secara baik-baik. Ia ingin
sebuah hubungan serius mengingat targetnya menikah telah jatuh tempo. Hatinya
kini sedang terpaut pada seseorang.
“Siap-siap aja kalah lu, Dil. Gue yakin seratus persen kalau Shifa akan bertekuk lutut. Cewek
mana yang mampu menolak kharisma dan ketampanan gue.”
“Masih ada waktu seminggu lagi. Lu jangan over pede, Fat!”
Sore itu, ketika Shifa memutuskan
berpindah jadwal latihan Thai boxing,
tak disangka ia mendengar percakapan yang tak diinginkannya. Fatih dan Fadil,
saudara kembar pemilik pusat kebugaran ternyata mempermainkannya, menjadikan
perasaannya objek taruhan.
Shifa urung berlatih. Ia berlari
menuju mobilnya dan memutar arah. Marah dan malu tengah merambati hatinya.
Berhari-hari Shifa mengurung diri di
kamar. Ia menutup-nutupi kesedihannya. Nafsu makannya lenyap tanpa harus ia
kendalikan susah payah.
“Shifa, ada tamu. Dia bilang namanya
Fadil,” tiba-tiba mamanya masuk kamar dan memberitahukan kedatangan seseorang
yang dibencinya.
“Ada perlu apa ke sini?” tanya Shifa
ketus.
“Gue
ke sini mau minta maaf. Hari itu gue lihat
sekilas lu udah di mobil di tempat
parkir.”
Shifa terkejut. Ia menangkap
kegelisahan dalam nada bicara Fadil.
“Gue
juga ingin meluruskan sesuatu. Sebenarnya gue
menaruh hati sama lu. Tapi niat gue terhalang keinginan egois Fatih.
Hari ini gue punya nyali untuk datang
ke sini.”
Belum lepas kekagetan Shifa, ia
dikejutkan lagi oleh pernyataan lain.
“Gue
serius, Shifa. Jika lu mau, gue siap mengenalkan lu ke keluarga, sebagai bukti
kesungguhan ucapan gue.”
Shifa hendak angkat bicara, ketika
terdengar bunyi bel. Ia berdiri menengok tamu yang datang. Betapa terkejutnya
ia saat mendapati Fatih dan Dipta sedang berdiri di balik pintu dengan wajah
tak sabar.
Kejutan apalagi ini? Apa mereka
sedang mengujinya? Apa mereka ingin serentak mengajukan diri? Lalu siapa yang
harus Shifa pilih?
Sebuah kamar bercat dinding serba
putih yang lengang. Seorang gadis duduk dengan selimut dan baju rumah sakit
membalut tubuhnya.
“Shifa, ayo dong sedikit lagi
makannya.”
“Sudah kenyang, Ma. Shifa ingin
berbaring sebentar.”
“Baiklah, tidurlah saja kalau
begitu.”
Beberapa menit kemudian seorang
dokter dan perawat masuk. Mereka melakukan pemeriksaan dan menanyakan beberapa
hal pada Shifa.
“Kondisi Anda sudah jauh lebih baik.
Jika kondisi ini stabil, lusa Anda boleh pulang.”
Shifa dan mamanya tersenyum lega.
Seminggu lebih sudah Shifa dirawat, thypus
menyerang tubuhnya. Ia rindu dengan kamarnya, ia rindu dengan suara gaduh kedua
adiknya. Terlebih lagi, Shifa rindu masakan sang mama.
“Shifa, ikut yuk ke seminar ini!”
ajakan seorang teman kantor, Yuni, mengalihkan perhatian Shifa dari layar
komputer.
“Seminar tentang apa, kapan?”
“Seminar bertema jodoh impian.
Pelaksanaannya kurang dari sebulan lagi. Ini posternya,” Yuni menjawab lalu
memperlihatkan poster dari sebuah tweet.
Hari Sabtu itu Shifa tampil berbeda.
Berulang kali ia mematut diri di depan cermin besar, namun kepercayaan dirinya
masih di titik terkecil.
“Sudah cantik, Kak. Gue aja pangling lihat lu. Elegan, jauh dari kesan jilbaber
baru,” puji Syla meyakinkan kakaknya.
“Shifa, temanmu sudah menunggu di
ruang tamu.”
“Iya Ma, Shifa datang.”
Hari itu benar-benar menjadi hari
baru bagi Shifa. Berkat Yuni, ia mantap untuk berjilbab dan merombak habis
tampilannya. Shifa yang dulunya tomboy,
telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu anggun.
Sebulan berlalu dengan cepat. Semua
kawan lama Shifa telah mengetahui perubahannya. Ada yang mencibir, tapi tak
sedikit pula yang mendukung.
“Shifa, ada seseorang yang ingin
bertemu.”
“Siapa, Yun?”
“Aku, Shifa. Kamu nggak sibuk kan?”
Shifa terperanjat mendapati seorang
lelaki tinggi putih, berwajah indo berdiri di hadapannya. Begitu terkejutnya
hingga ia tak menyadari bahwa Fadil sedang tersenyum manis padanya.
“Apa kabar, Shifa? Lama tidak
bertemu.”
“Baik. Iya. Eh, kamu sedang apa di
sini?” Shifa gugup, tiba-tiba jantungnya berdetak amat kencang.
“Sedang ada urusan di sekitar sini
saja, jadi sekalian mampir. Kalau boleh, sepulang kerja nanti, aku ingin main
ke rumahmu.”
“Apa? Eh, boleh saja,” Shifa
tergagap. Dia tak bisa menutupi kegugupannya, terutama ketika mendengar
kunjungan ke rumah.
Rencana Allah memang tak bisa
diprediksi. Shifa dan Fadil kembali dipertemukan dalam suasana yang berbeda.
Waktu telah mengobati luka, membukakan kesempatan kedua. Tiga bulan setelah
pertemuan kembali sore itu, Shifa dan Fadil mengikat janji setia di hadapan
Allah dan keluarga tercinta.
0 komentar:
Posting Komentar