Menghitung
Mundur*
(Diary
Sang Zombigaret)
Namaku Kisno. Orang-orang
menjulukiku Zombi. Julukan itu adalah sarkasme atas hidupku yang laksana mayat
hidup. Mayat hidup yang menghitung mundur bom waktu yang nantinya meledak dan
tiada menyisakan apapun, kecuali nama.
Menjelang separuh abad lebih umurku
ini, penyakit-penyakit serius menghinggapiku tiada ampun. Dulu aku lelaki gagah
dan cerdas. Meskipun aku tergolong siswa nakal semasa di sekolah, otakku
tetaplah encer. Kala sekolah menengah, aku bergaul dengan kawan-kawan
berpengaruh buruk. Kami mulai mengenal rokok dan menghisapnya sembunyi-sembunyi
di warung dekat sekolah. Aku juga lelaki yang gemar berjudi. Main kartu atau
bertaruh dalam adu ayam adalah kesenanganku. Selain itu, segelas besar kopi
hitam kental merupakan sobat pendamping batangan-batangan rokok filterku.
Setamat sekolah menengah, aku bekerja sebagai sopir truk. Angin malam yang
dingin, kujadikan dalih dan pembenaran atas kebiasaan merokokku. Sesekali
bahkan aku sempat menenggak minuman keras. Ah, kalian tahulah, kehidupan jalanan
membuat orang-orang seperti kami ini sulit berpaling dari godaan-godaan
duniawi. Masih beruntung aku sempat mencicipi manisnya kehidupan berumah
tangga.
Kehidupan rumah tanggaku tak pernah
sempurna. Batangan-batangan rokok yang kubakar setiap hari—hingga tak terhitung
lagi jumlahnya—menjadikanku pria dengan peluang menghasilkan keturunan yang
nyaris nol. Apalagi istriku juga bukan wanita yang subur. Alhasil, hingga usia
perkawinan yang jelang tiga puluh tahun ini, kami tak jua dikaruniai anak. Aku
dan istriku hanya sanggup memandang iri sanak saudara yang kerap
memamerkan kelincahan dan kepintaran
anak-anaknya. Acapkali aku mengajak anak-anak mereka bermain sejenak. Secara
ekonomi, rumah tanggaku tak bisa dibilang mapan. Aku dan istriku menempati sebuah
rumah sangat sederhana yang berdiri di atas sepetak tanah milik saudaraku.
Ajaibnya, semua ketidaksempurnaan ini tak mampu menggugahku untuk mengubah
hidup. Barangkali hatiku telah mati. Ia mati semenjak barang-barang haram itu
kuijinkan masuk dalam tubuhku.
Titik klimaks dari hidupku terjadi
beberapa tahun silam. Aku menceraikan istriku. Wanita yang telah kunikahi
selama berpuluh tahun itu ternyata mengkhianatiku. Selepas perceraian,
malapetaka datang silih berganti. Bermula dari vonis dokter atas penyakitku:
kanker paru-paru stadium awal. Badanku mendadak kurus kering. Pengobatan rutin
kuperlukan demi memperpanjang umurku. Di saat aku tergolek lemah digerogoti
penyakit, hanya adik perempuanku yang bisa kumintai tolong untuk merawatku. Aku
sempat dirawat di rumah sakit untuk jangka waktu yang tak bisa dikatakan
sebentar. Adikku sebenarnya bukanlah sosok lembut nan baik hati. Pertolongannya
padaku tak lebih karena masih memandang hubungan darah di antara kami. Ia dan
suaminya tak jarang mengeluh dan bersikap kasar padaku. Terkadang aku pasrah
jika Tuhan memerintahkan malaikat maut-Nya untuk menjemputku kapanpun. Bukan
karena aku percaya diri atas amalanku. Sama sekali bukan. Aku adalah Muslim KTP
yang selalu alpa sholat lima waktu dan puasa. Aku laksana pungguk merindukan
bulan; pendosa yang memimpikan surga.
Penyakitku ini tak mungkin sembuh
total. Ibarat organ tubuh yang telah cacat permanen, dia mustahil normal
seperti sediakala. Yang bisa kulakukan hanyalah menghentikan kebiasaan
merokokku dan hidup lebih sehat. Syukurlah, benih kesadaran akibat himpitan
keadaan telah tumbuh dalam diriku. Rokok telah kujauhkan dari jangkauanku. Kopi
kukurangi porsi seduhannya setiap hari. Lagipula, aku cukup kere untuk sanggup
membeli barang-barang tersebut. Hidupku sekarang kembang-kempis. Meski
demikian, kala kesehatanku telah membaik, aku tetap berikhtiar mengais rejeki.
Usaha apapun kujalani, senyampang itu bisa menghasilkan lembar-lembar rupiah.
Terkadang penyakitku kambuh dan aku harus menjalani perawatan kembali. Itu
menjadi saat-saat menyedihkan dan memalukan. Memalukan karena aku kembali
mengemis belas kasihan saudaraku.
Kisah ini bukan kisah inspiratif
apalagi romantis. Kisah ini adalah kisah nyata pahit yang dilarang untuk
ditiru. Siapapun kalian yang membaca kisah ini, ambillah hikmahnya. Buang dan
jauhilah bagian buruknya. Jangan bunuh diri kalian dengan rokok dan
kawan-kawannya. Tuhan menciptakan kita untuk menjadi makhluk berguna dan untuk
beribadah kepada-Nya; bukan untuk menjadi zombigaret. Insaflah sebelum
terlambat.
*Tulisan
ini diikutsertakan dalam event menulis “Diary Sang Zombigaret” yang diadakan
oleh @zombigaret
Penulis
: Aii Vitri ( @aii_vitri)
Orang yang tidk mrokok saja bisa terkena penyakit kanker paru2 ya, apalagi yang doyan merkok, subhanallah! sukses GA nya ya!
BalasHapussukses GA nya ya mbaa :D
BalasHapusyap, semoga terus bertambah kesadaran akan ruginya merokok. terima kasih :)
BalasHapus