Senin, 28 April 2014

[Resensi] Mantan Pelacur pun Berhak Atas Surga-Nya*

Posted by Menukil Aksara | 8:52:00 PM Categories:


Judul Buku   : Kau Bidadari Surgaku
Penulis          : Ade Kurniawan (Al Isyhad)
Penerbit        : Rumah Oranye, 2014

    “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia atau bidadari bermata jeli?” Beliau menjawab, “Wanita dunia lebih utama dari bidadari-bidadari seperti kelebihan yang Nampak dari apa yang tidak nampak.” Aku bertanya lagi, “Mengapa wanita dunia lebih utama dari bidadari?” Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah… “ 

Anda tentu tak asing lagi dengan penggalan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah r.a di atas. Seorang wanita mukminah shalihah akan terangkat derajatnya di sisi Allah berkat pengabdiannya di dunia. Muslimah mana yang tak menghendaki surga dan predikat bidadari? Lantas bagaimana jika seorang wanita bermasa lalu suram mendamba surga? Apakah masih tersisa asa untuk cita-citanya ini? Kisah dalam novel “Kau Bidadari Surgaku” yang ditulis oleh Ade Kurniawan—seorang novelis muda asal Cimahi—ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

    Marwah, seorang wanita muda asal Kroya, adalah sesosok wanita cantik berhati mulia. Perantauannya ke Jakarta dilatarbelakangi oleh kematian sang ayah yang menyisakan himpitan ekonomi. Sebagai anak tertua, Marwah merasa berkewajiban menafkahi keluarganya, termasuk membiayai sekolah kedua adik laki-lakinya. Ganasnya kehidupan ibukota menyeret Marwah ke lembah nista dan melindas keimanannya. Demi bertahan hidup dan mendapatkan aliran rupiah, Marwah memilih profesi haram sebagai wanita panggilan. Di hadapan orang-orang sekitarnya, ia memoles pribadinya nyaris tiada cela. Hingga suatu hari, seorang pria berwajah teduh, bertutur santun—Hamzah—mengusik ketenangan batinnya. Marwah diam-diam menyimpan kekaguman pada Hamzah sekaligus memendam keinginan kuat untuk bertaubat. Di lain pihak, ada Shafa, seorang gadis anak konglomerat yang terobsesi untuk memiliki Hamzah. Penampilan Shafa yang agamis dengan gamis dan kerudung lebarnya, mengesankan sosok bidadari baik hati. Tak dinyana, Shafa ternyata tak lebih dari gadis culas nan keji yang menggunakan uang dan kekuasaan untuk memfitnah dan menimpakan derita pada Marwah.

    Diksi dalam novel ini tak selalu puitis “berkelas” tinggi. Begitu banyak kesahajaan yang disajikan dalam tiap kalimatnya. Namun tak berarti yang sederhana itu tak mampu menampilkan kekayaan rasa dan makna. Tengoklah kutipan paragraf berikut, “Hatiku menjerit, isak tak tertahan. Air mata kian deras membasahi pipi dan karpet merah bergambar Ka’bah. Sujud ini begitu menyakitkan, namun terasa sangat menentramkan jiwa. Rasa sesal akan dosa-dosaku berbaur dengan air mata tenteram membuatku enggan bangkit dari sujud. Bumi seolah menahan kepalaku, agar terus merendah di bawah kuasa Allah Yang Maha Agung (hal. 127).” Adegan kala Marwah shalat di masjid untuk kali pertama, setelah sekian lama meninggalkannya, mampu menghanyutkan pembaca, seolah turut menangisi dosa-dosa yang diperbuat.

    Meski demikian, terdapat bagian-bagian yang bagi saya terlampau eksplisit dalam menampilkan pesan religi. Misalnya pengutipan kisah Nabi Musa a.s dalam Al-Qur’an yang panjang (hal. 121-123). Namun ada pula pesan religi yang lebih mengalir tersampaikan lewat dialog Hamzah dengan gurunya (hal. 164-165). Adegan malam pertama Hamzah dan Marwah yang disuguhkan secara puitis romantis, menurut hemat saya juga hendaknya disamarkan detilnya dan dipersingkat durasinya. Selain itu, novel ini menyajikan fakta miris tentang pacaran terselubung atau setidaknya pendekatan ala anak muda yang sekuleris melalui adegan kala Shafa kerap menghubungi Hamzah secara pribadi via telepon dan rajin menanyakan kabar hingga detil aktivitasnya.

Kesalahan-kesalahan cetak, ejaan, dan tanda baca juga cukup banyak ditemui. Kekurang logisan di beberapa kalimatnya juga saya jumpai namun cukup tersamar dengan hikmah yang ingin disampaikan penulisnya.

Bagaimanapun, saya salut atas keberanian penulis mengetengahkan ide cerita ini. Hikmah dari keutamaan taubatan nasuha, hidayah, dan rahasia hati manusia adalah topik yang sangat layak untuk dimunculkan. Novel ini diharapkan mampu memahamkan pembacanya bahwa sekelam apapun masa lalu seseorang, Allah Yang Maha Pengampun akan menerima kesungguhan taubatnya; asalkan kiamat belum menjemput dan nafas belum sampai di tenggorokan. Dan husnul khatimah yang mengantarkan pada surga Allah dapat diraih lewat perjuangan.





0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube