Have
Some Consideration (Refleksi Atas Kasus Dinda Vs Ibu Hamil)
Beberapa waktu yang lalu, dunia
media sosial kembali dilukai oleh sebuah status. Status yang berisi limpahan
kekesalan dan pembelaan diri dari seorang perempuan muda, yang bernama Dinda.
Dinda menuangkan emosi negatifnya di akun pribadinya, barangkali adalah sebuah
keabsahan. Namun ketika status ini kemudian melebar, maka meruncing pulalah ia
menjadi isu utama atau istilahnya trending
topic dan disoroti banyak kalangan.
Saya menulis opini ini dengan niat bersikap
seobjektif mungkin. Walaupun sebagai manusia pasti akan tetap ada kecenderungan
keberpihakan, dan saya harap itu sedikit dimaklumi J. Saya membaca kasus ini bisa dibilang
agak terlambat. Setelah ramai kawan-kawan di Facebook memajang tautan beritanya, barulah saya terpancing untuk
membuka dan membacanya.
Dalam statusnya--secara
ringkasnya--Dinda tanpa tedeng aling-aling--dengan gaya bahasa vulgar yang
menjurus ke kasar, menyatakan kekesalan dan kemarahannya atas sikap seorang ibu
hamil yang meminta tempat duduknya di KRL—yang dinilainya semena-mena--dalam
perjalanannya menuju tempat aktivitas. Statusnya tersebut kemudian mendapat
respon pembelaan dari teman-temannya. Bahkan, seorang diantara mereka
menyodorkan komentar berupa trik untuk menghindar dari permintaan ibu-ibu hamil
di KRL. Mungkin Dinda dan teman-temannya lupa atau arogan, mengingat dunia maya
itu sifatnya terbuka. Siapapun dapat mengakses akun kita bahkan membaca dan
menyebarluaskannya. Efek inilah yang mengakibatkan status dan komentar-komentar
tersebut menyebar cepat, bahkan di-screenshot
oleh entah siapa. Reaksi bernada mengecam bergulir, diikuti sindiran-sindiran
bersifat parodi kreatif atas sikap Dinda.
Kasus ini sesungguhnya sebuah refleksi yang cukup sempurna atas tabiat manusia. Saya jadi teringat beberapa perjalanan saya menggunakan jasa KRL selama saya berdomisili di kota hujan. Seringkali saya menumpang KRL untuk menuju daerah Jakarta. Kadang saya bepergian sendiri--entah di jam-jam sibuk ataupun di jam-jam sepi, dan pernah juga perjalanan itu saya tempuh bersama kawan-kawan perempuan saya. Pengalaman nyaris tak disisakan ruang untuk berdiri pun pernah saya alami. Hampir terjatuh di pintu kereta akibat nekat mengejar kereta--yang itu pun telah penuh sesak, juga sempat saya cicipi. Dan pengalaman berkesan yang terkait secara tidak langsung dengan kasus Dinda juga pernah saya alami. Kala itu, saya bepergian bersama seorang teman wanita--yang tengah hamil memasuki trimester ketiga—dan seorang anak perempuannya yang masih balita. Di perjalanan pertama, teman saya mengeluh mual dan pusing tatkala baru saja menginjakkan kaki ke dalam gerbong. Naasnya lagi, kami dikejar waktu sehingga terpaksa menumpang sebuah KRL ekonomi yang siap berangkat namun telah padat penumpang. Saya kebingungan mencarikan tempat duduk untuk teman saya kala itu. Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling kami, dan ragu-ragu hendak meminta tolong pada salah satu penumpang. Syukurlah, di tengah kebimbangan tersebut, seorang bapak-bapak bermurah hati memberikan tempat duduknya, tanpa kami minta. Di sebuah perjalanan berikutnya—masih dengan teman yang sama, kami dihadapkan kembali pada dilema yang sama. Teman saya kecapekan dan merasa nyaris tidak kuat jika harus berdiri sepanjang perjalanan (perlu diketahui, suaminya memang tidak bisa mengantar pulang-pergi). Kali ini, teman saya ini menyatakan langsung keluhannya dengan lirih. Alhamdulillah, ada lagi seorang penumpang yang suka rela menyerahkan tempat duduknya. Perlu dicatat, tiap kali teman saya mendapat tempat duduk, tidak serta merta saya pun merengek ingin mendapat perlakuan yang sama. Saya mengalah dan menyadari betul posisi saya sebagai orang yang lebih kuat secara fisik sehingga tidak perlu meminta keringanan.
Kasus ini sesungguhnya sebuah refleksi yang cukup sempurna atas tabiat manusia. Saya jadi teringat beberapa perjalanan saya menggunakan jasa KRL selama saya berdomisili di kota hujan. Seringkali saya menumpang KRL untuk menuju daerah Jakarta. Kadang saya bepergian sendiri--entah di jam-jam sibuk ataupun di jam-jam sepi, dan pernah juga perjalanan itu saya tempuh bersama kawan-kawan perempuan saya. Pengalaman nyaris tak disisakan ruang untuk berdiri pun pernah saya alami. Hampir terjatuh di pintu kereta akibat nekat mengejar kereta--yang itu pun telah penuh sesak, juga sempat saya cicipi. Dan pengalaman berkesan yang terkait secara tidak langsung dengan kasus Dinda juga pernah saya alami. Kala itu, saya bepergian bersama seorang teman wanita--yang tengah hamil memasuki trimester ketiga—dan seorang anak perempuannya yang masih balita. Di perjalanan pertama, teman saya mengeluh mual dan pusing tatkala baru saja menginjakkan kaki ke dalam gerbong. Naasnya lagi, kami dikejar waktu sehingga terpaksa menumpang sebuah KRL ekonomi yang siap berangkat namun telah padat penumpang. Saya kebingungan mencarikan tempat duduk untuk teman saya kala itu. Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling kami, dan ragu-ragu hendak meminta tolong pada salah satu penumpang. Syukurlah, di tengah kebimbangan tersebut, seorang bapak-bapak bermurah hati memberikan tempat duduknya, tanpa kami minta. Di sebuah perjalanan berikutnya—masih dengan teman yang sama, kami dihadapkan kembali pada dilema yang sama. Teman saya kecapekan dan merasa nyaris tidak kuat jika harus berdiri sepanjang perjalanan (perlu diketahui, suaminya memang tidak bisa mengantar pulang-pergi). Kali ini, teman saya ini menyatakan langsung keluhannya dengan lirih. Alhamdulillah, ada lagi seorang penumpang yang suka rela menyerahkan tempat duduknya. Perlu dicatat, tiap kali teman saya mendapat tempat duduk, tidak serta merta saya pun merengek ingin mendapat perlakuan yang sama. Saya mengalah dan menyadari betul posisi saya sebagai orang yang lebih kuat secara fisik sehingga tidak perlu meminta keringanan.
Kembali ke kasus Dinda; saya menyayangkan
sikap berlebihan Dinda yang seharusnya bisa diminimalisir bahkan ditiadakan.
Pembelaannya dengan memaparkan panjang lebar perjuangannya untuk bangun lebih
awal, kesehatan tulang kakinya yang memburuk, dan seterusnya, justru
memperkeruh masalah alih-alih menjernihkan dan menarik simpati. Jika saya bisa
katakan, itu adalah cerminan dari prasangka buruk pada orang lain dan men-generalisasi. Mengapa demikian? Coba kita
tilik. Apakah Dinda benar-benar mengetahui kondisi si ibu tersebut dalam
kesehariannya, atau setidaknya mengenal secara pribadi sosoknya, sehingga ‘berhak’
menyimpulkan si ibu tak cukup berusaha untuk mendapatkan ‘tiket duduk’ di KRL? Bagaimana
jika ternyata si ibu sempat mengalami kejadian tak diinginkan sehingga terpaksa
tertinggal dari jadwal biasa ia mengejar kereta? Atau bisa jadi ada anggota
keluarga yang sakit, atau bahkan suaminya yang biasa mengantar yang sakit, atau
kemungkinan-kemungkinan berderet lainnya yang bahkan bisa juga terjadi dalam
hidup Dinda sendiri. Jika
tidak terjadi di hidupnya sekarang, tidak menutup kemungkinan itu terjadi
kelak. Atau bayangkan sajalah jika ibu hamil itu adalah ibunya sendiri atau
keluarganya yang lain, entah di masa sekarang, akan datang, bahkan di masa
lalu. Hindari juga menyamaratakan semua ibu hamil meminta-minta tempat duduk
setiap hari, karena masih ada wanita-wanita yang berprinsip berbeda. Selain itu, si ibu juga bukanlah sosok pembaca pikiran
atau mengenal kondisi kesehatan Dinda sehingga dimaklumi jika ia tak tahu bahwa
Dinda juga membutuhkan tempat duduk. Yang logis adalah secara kasat mata
seorang gadis muda memang bisa dianggap lebih kuat berdiri beberapa lama jika
dibandingkan dengan seorang wanita hamil. Meski saya juga tidak membenarkan
mutlak permintaan si ibu pada Dinda. Si ibu tersebut seharusnya bisa meminta ke
penumpang laki-laki di KRL tersebut, alih-alih sesama penumpang wanita. Jikapun
itu adalah gerbong khusus perempuan, masih ada alternatif penyelesaian yang
lebih bijak, misal dengan pernyataan keberatan secara baik-baik dari Dinda
disertai alasan dan bantuan untuk meminta tempat duduk lain. Dari pengalaman
saya di atas, mustahil dalam satu gerbong tidak ada satu orang pun yang
bersimpati atau bermurah hati merelakan tempat duduknya, jika mendengar keluhan
dari seorang wanita hamil yang membutuhkan. Jika itu sampai terjadi, maka kita
patut bersedih karena akhlak warga Indonesia sudah sedemikian terpuruknya.
Sedikit saran juga untuk kaum wanita—yang saya termasuk di dalamnya—untuk mengutamakan
berdiam di rumah jika tidak ada keperluan mendesak. Dalam Islam, seorang wanita
dimuliakan dengan keberadaannya di rumah sebagai perlindungan atas
kehormatannya. Jika situasi mengharuskan seorang wanita bepergian, hendaklah ia
ditemani oleh suami, keluarga atau teman wanitanya. Jika situasi tetap tidak
memungkinkan dan ia terpaksa bepergian sendiri dan menggunakan jasa angkutan
umum, hendaklah sudah siap dengan konsekuensi dan antisipasinya. Pergi di awal
waktu, mengutamakan jasa angkutan yang aman dan ramah terhadap wanita dan
anak-anak, misalnya, adalah dua hal yang utama. Selain itu, hendaklah ia bersikap
mandiri, karena dalam situasi perjalanan di angkutan umum, tiap penumpang
memiliki masalah masing-masing, yang bisa saja tidak tampak di permukaan. Milikilah
sedikit toleransi, karena masing-masing orang ingin dihargai.
Bagi para ibu atau calon ibu, kasus
ini juga bisa dijadikan refleksi bahwa mendidik empati dan simpati itu penting
pada anak-anak sejak usia dini. Jikalau anak-anak telah dewasa kelak, ia akan
terhindar dari gilasan zaman yang telah sedemikian individualistik dan
melahirkan sosok seperti Dinda. Pesan penutup saya lebih saya arahkan pada
pemerintah sebagai pemilik kebijakan. Kasus kecil ini adalah cerminan masih
minimnya pelayanan publik terkait jasa transportasi. Saya sangat mengharapkan
adanya solusi praktis mengenai jasa transportasi umum yang ramah warga. Sudah memadaikah
transportasi publik yang ada saat ini? Barangkali Bapak-bapak pejabat bisa
menyurvei sendiri. Seperti halnya setiap tulisan ada pertanggungjawabannya,
amanah jabatan pun insya Allah akan dipertanggungjawabkan kelak. Semoga tulisan
sederhana saya ini bisa diambil hikmahnya.
Untuk tautan terkait pemberitaan
kasus Dinda, bisa dibaca di sini:
Ini sih bukan tulisan sederhana mbak, bagus dan inspiratif :)
BalasHapusSalam kenal ya..
salam kenal juga Mbak. terima kasih kunjungannya :)
Hapushehe, saya masih belajar jadi nggak berani bilang nggak sederhana..
Iya Mak. Wajib dipupuk dari dini kalo masalah seperti ini. Miris banget bacanya. :(
BalasHapusIya, karena membentuk kepribadian itu nggak satu-dua tahun saja :)
HapusTulisan yang menginspiratif. Keren dan mendidik.
BalasHapusBEnar, ini mah bukan tulisan sederhana. Hehehe.
Saya jadi ingat waktu hamil dulu, suami tak merelakan saya berpergian seorang diri apalagi naik angkutan umum. Lebih aman panggil tukang ojek dan diantar sampai tujuan, bila terpaksa pergi tanpa suami.
Satu waktu nekat pergi naik angkutan umum. Karena waktu hamil saya malah kurus, tidak seperti orang hamil pada umumnya, jadi pada cuek aja tuh, hehehe
terima kasih sudah membaca, Mbak :)
Hapuseh, saya juga punya teman yang begitu, hamil malah kurus.. bener juga Mbak, lebih baik naik ojek apalgi ojeknya deket rumah, udah kenal hihi, jadi meminimalisir kekhawatiran..