Ponselku
Terbarter Buku
Pagi
yang cerah dan jadwal kuliah yang sedang kosong. Aku rapikan diri, tak
ketinggalan alat tulis masuk ke dalam tas selempang rajut kesayanganku. Ringan
langkah kaki mengayun menuju spot favoritku selama dua bulan ini.
“Lomba
menulis fiksi mini bertema HUT Proklamasi RI,” begitu bunyi pengumuman yang
diposting oleh seorang kontak blogku.
Kompetisi
menarik. Inilah kesempatan tepat untuk mengasah kreativitas menulisku yang
masih merangkak. Kubaca baik-baik ketentuan dan deadline lomba. “Masih ada
waktu!” sorakku girang.
“Lila,
mau ke mana terburu-buru?” panggilan temanku tak kuhiraukan lagi.
“Hari
ini harus sudah diposting,” hanya itu yang ada di otakku seharian ini.
Bunyi
ketukan di keyboard menemani alam pikiranku yang sibuk menata dan mengedit.
“Aha akhirnya, ini pas sesuai kerangka,” celetukku dalam hati seraya tersenyum
puas.
Ponselku
berdering pertanda pesan masuk. “Lila, kamu di mana? Segera menghadap Bu Nina
ya, penting!” begitu bunyi pesan.
Setengah
berlari aku bergegas menuju kampus, tak jauh dari warnet tadi.
“Alhamdulillah,
proposal sudah disetujui,” gumamku sesaat setelah menghadap Kajur.
Kuraba
isi tas, kucari ponselku. Panik menyadari yang kucari tak ada, aku berusaha
mengingat-ingat.
“Subhanalloh,
jangan-jangan ketinggalan di warnet!” pekikku sejurus kemudian.
Berlari aku ke arah warnet dan merangsek masuk
tanpa babibu. Begitu tak kudapati si ponsel, segera aku bertanya pada
operator. “Maaf Mbak, saya tidak lihat,” lemas
badanku mendengar jawabannya.
Seminggu
kemudian kabar itu datang. Fiksi mini perdanaku memenangkan juara favorit.
Hadiah paket buku akan segera meluncur ke alamatku. Seharusnya aku melompat
kegirangan atau bersenandung konyol, tapi apa daya, ada yang merusak momen ini.
“Bagaimana
aku akan memberi tahu ibu tentang ponselku yang hilang?” ratapku memelas.
0 komentar:
Posting Komentar