Menulis
Sebuah Petualangan Jiwa
Coretan ini sekadar mengenang
sejarah—kilas balik—alasan saya menulis dan sejarah tulisan-tulisan saya. Saya bisa
dibilang tidak memiliki latar belakang pendidikan kepenulisan atau jurnalistik
secara formal. Semua teknik dan gaya menulis, hampir semua saya pelajari
sendiri. Awal ketertarikan saya dengan dunia tulis menulis ini sebenarnya dari
buku. Yap, karena hobi membaca-lah saya melirik dunia kepenulisan. Sejak kecil
saya suka sekali membaca. Membaca apa saja, di mana saja. Semasa SD dulu, saya
belum mampu membeli koleksi buku. Orang tua saya bukanlah tipe yang
menganggarkan dana khusus untuk membeli buku-buku bacaan. Hanya satu bacaan
yang selalu ada di rumah, yaitu majalah anak “Kuncup”. Itu pun karena ibu saya
adalah seorang guru SD, sehingga diwajibkan berlangganan. Namun saya cukup
beruntung. Meski hanya majalah itu kawan baca tetap saya tiap bulan, saya masih
bisa meminjam bacaan anak lain dari teman atau tetangga. Seingat saya, dulu
saya masih bisa menikmati majalah anak “Bobo” dan serial petualangan “Lima
Sekawan”. Beranjak remaja, majalah-majalah remaja pinjaman teman juga saya
lahap. Berlanjut dengan novel-novel lama ternitan Balai Pustaka, yang saya
pinjam dari perpustakaan sekolah. Menginjak dewasa, bacaan saya merambah ke
buku-buku non fiksi bertema keagamaan dan novel-novel dewasa—baik umum maupun
religi. Tentu saja, tidak semua saya beli sendiri.
Debut menulis saya sebenarnya sudah
dimulai ketika SD. Kala itu, saya pernah menjuarai kompetisi menulis untuk
tingkat SD se-kecamatan. Saya masih ingat tema tulisannya ketika itu adalah
tentang cita-cita. Yang saya tulis di saat itu adalah cita-cita menjadi seorang
guru—yang agaknya sedikit banyak dipengaruhi oleh profesi ibu saya. Selain itu,
saya juga mulai menulis puisi anak-anak dan pernah juga mengikuti kontes
membaca puisi anak. Meski tidak mendapatkan gelar juara, namun sejak itu saya
mulai menyadari bakat saya menulis.
Bakat terpendam itu benar-benar
terpendam—tak muncul-muncul lagi—selama bertahun-tahun. Saya sibuk dengan dunia
akademis dan mencari hidayah—belajar agama lagi dari nol. Di tengah jatuh
bangun menjalani ujian hidup, kerinduan saya akan dunia menulis terbit lagi. Maka,
momen akhir kuliah, ketika tengah marak blog Multiply dan Facebook,
saya mencoba peruntungan saya kembali. Saya buka akun baru di blog dan begitu
saja tenggelam dalam hiruk pikuk dunia blogging.
Saya bahkan sempat memiliki tiga akun berbeda di Multiply dan dua akun di Facebook.
Di Multiply, saya pernah juga
merasakan nikmat dan serunya kopdar—temu muka—antar sesama blogger di sana—biasa
dijuluki MPer—hingga beberapa kali. Hingga
pada tahun 2010—kalau tidak salah—web Multiply
dialihfungsikan oleh pengelolanya, menjadi sebuah web untuk online shop
saja. Disebabkan alasan tersebut, dan beberapa alasan pribadi, saya terpaksa
vakum dari nge-blog.
Awal
tahun 2014 menjadi titik balik saya. Saya mulai bersemangat kembali menulis,
bahkan getol memburu berbagai event menulis
via online. Tak cukup puas dengan
upaya itu, saya juga memutuskan membuka lagi kebiasaan positif menuangkan ide
dan pengalaman lewat blog. Maka jadilah blog ini, yang kini berisi sebagian
kecil tulisan-tulisan hasil karya saya.
Mengutip sebuah pernyataan dari
sebuah akun kepenulisan di twitter, “Menulis
bisa sendirian, tapi menjadi penulis butuh rekan,” maka harapan saya
terhadap gairah menulis saya saat ini lebih tinggi dibandingkan harapan pada
tahun-tahun sebelumnya. Semoga saja tahun ini menjadi awal prestasi saya dan
tahun pelecut semangat dan keberanian saya dalam memeluk impian. Aamiin J
0 komentar:
Posting Komentar