Barter
Tanda Tangan
“Wow, koleksimu melampaui koleksi
buku perpustakaan sekolahku, Han!”
Hana tergelak mendengar komentar
takjub teman barunya, Riska. Riska bertandang saat ia hendak merapikan
koleksinya itu.
“Ris, tolong ambil fotoku dong!”
Riska melongo. Ia mengiyakan saja
permintaan konyol itu. Tebaran buku yang berserakan menutupi tiap petak keramik
di kamar Hana, menjadi latar belakang foto.
“Hahaha, banyak yang meretweet fotoku tadi!” seru Hana
kegirangan.
“Buku kesayanganmu yang mana?” Riska
tak menggubris, justru bertanya hal lain.
“Semuanya buku kesayangan.
Masing-masing bernilai sentimentil unik.”
“Oya? Yang mana yang paling unik?”
Hana tak lekas menjawab. Ia
mengais-ngais tumpukan bukunya. Beberapa menit kemudian, ia meraih sebuah novel
bertajuk Sunset in Weh Island.
“Nah, ini dia. Novel ini bertanda
tangan asli penulisnya, kudapat melalui acara jumpa penulis dan bedah novel.
Tanda tangannya bernilai jutaan lho!”
“Hah, nggak gratis?!”
“Nggak lah. Di perjalanan menuju
tempat acara, aku kehilangan ponselku yang baru berumur seminggu; sebuah ponsel
keluaran terbaru,” Hana bertutur dengan entengnya.
Riska terbelalak. Benar-benar barter
yang tak setara, pikirnya.
0 komentar:
Posting Komentar